Selasa, 08 Mei 2012

Perbedaan Madhzab tentang wali nikah

I. Pendahuluan
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan sangat suci, ia merupakan dambaan setiap pemuda dan pemudi. Namun di dalam mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan, karena di dalam pernikahan ada rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apabila kurang salah satu rukun atau syaratnya maka menurut kesepakatan ulama fiqih tidak sah pernikahan tersebut.
Adapun salah satu rukunnya adalah adanya wali dari pihak perempuan. Apabila rukun ini tidak terpenuhi bahkan cenderung diabaikan maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan, sehingga seorang laki-laki belum resmi memiliki seorang wanita yang dinikahinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Dari Aisyah RA bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
Oleh karena itu, saya mendapatkan tugas membuat makalah dengan bahasan “ perbedaan pendapat tentang wali nikah”. Apabila nanti dalam pemaparan saya terdapat kesalahan, mohon dengan sangat untuk memberikan masukan serta kritik dan saran, guna perbikan makalah yang akan datang. Semoga bermanfaat.
II. Rumusan Masalah
1. Pengertian Wali dalam Nikah
2. Perbedaan Pendapat tentang Wali dalam Nikah.
III. Pembahasan
1. Pengertian Wali dalam Nikah.
Menurut bahasa, wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaan.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan nafs), perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an).
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain.
Perwalian yang berkenaan dengan manusia dalam hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memelihara yang ada dibawah perwaliannya atau perlindungan-nya. Maksudnya seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung serta mampu berbuat itu. Sedang seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia merasa tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang lain.
2. Perbedaan Pendapat Tentang Wali Nikah
a. Pendapat Imam Abu Hanifah
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat di dalam harus atau tidak adanya wali dalam nikah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sah nikah wanita dewasa yang berakal tanpa adanya wali, wanita dewasa dapat menjadi wali dalam nikahnya juga nikah wanita lain, dengan syarat calon suaminya sekufu, dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada masyarkat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah Nash Quran surat al Baqarah ayat 232 yang artinya : Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…(al-Baqarah: 232)
Kekurangan dan kelebihan dari pendapat Abu Hanifah adalah :
- Kekurangan : jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang-orang yang menikah seenaknya tanpa izin wali yang bersangkutan. - Kelebihan : pendapat Imam Abu Hanifah tentang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat wanita kepada derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
b. Pendapat Jumhur (Imam Syafi,i, Maliki dan Hanbali)
Pendapat jumhur ulama (Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali) berpendapat bahwa nikah tidak sah tanpa adanya wali. Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Dan ini merupakan pendapat banyak sahabat seperti Ibnu Umar, Ali Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah r.a. Dan begitu juga menurut Said bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tsauri, Ibnu Abi Layla, Ibnu Syibrimah, ibnu Mubarok, Ubaidullah bin Anbari, Ishaq dan Abu Ubaidah
Asy-Syafi’i menggunakan hadis ahad yang menyatakan tidak sah suatu pernikahan kecuali atas izin walinya.”La nikaha illa bi wali.” Sedangkan Abu Hanifah, tidak mau menerima hadis ini karena dinilai tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah atau dalil. Sebabnya, menurut Abu Hanifah, sebuah hadis yang bisa diterima haruslah mencapai tingkatan mutawatir, yaitu hadis Nabi yang tidak mungkin terjadinya penipuan atau kebohongan atas hadis yang dibawa.
Kekurangan dan kelebihan dari pendapat Jumhur ulama (Imam Syafi’i, Hanbali dan Maliki) adalah :
- Kekurangan : adanya diskriminasi terhadap perempuan dimana ia tidak boleh melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita berada pada derajat yang lebih rendah dari pada kaum pria.
- Kelebihan : adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab pernikahan merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.
c. Syarat-syarat menjadi wali.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi wali di antaranya adalah sebagai berikut :
- Islam. Seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah (atheis). Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya Malik, Syafi’I, Abu Ubaid. Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perrempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”
- Berakal, maka seorang yang kurang waras, idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya. Meskipun gilanya hanya kadang-kadang, terlebih lagi gila yang terus menerus tidak ada perbedaan di antara keduanya menurut pendapat yang paling benar.
- Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
- Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meskipun ia beragama Islam, berakal, baligh. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya, namun menurut pendapat yang paling benar adalah ia tidak boleh menjadi wali.
- Laki-laki, jadi seorang perempuan tidak berhak menjadi wali nikah.
Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi wali, seandainya seseorang telah memenuhi syarat-syarat di atas dan ia termasuk dari orang yang berhak menjadi wali, maka ia diperbolehkan untuk menjadi wali bagi seorang gadis yang masih saudaranya yang hendak melangsungkan pernikahan.
Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan ulama bahwasanya yang berhak menjadi wali nikah adalah orang-orang yang berstatus asobah. Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya adalah Tsauri, Laits, Malik dan Syafi’i, Adapun Abu Hanifah tidak mensyaratkan Ashobah.
Sedangkan perincian yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut. Dalam Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim digunakan di dalam mazhab Syafi’iyah, disebutkan bahwa urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
a) Ayah kandung.
b) Ayah dari ayah (Kakek).
c) Saudara laki-laki seayah dan seibu (saudara kandung)
d) Saudara laki-laki seayah.
e) Anak laki-laki dari saudara sekandung yang laki-laki.
f) Anak laki-laki dari saudara seayah.
g) Saudara laki-laki ayah (paman).
h) Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu).
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga jika ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin kepada urutan yang setelahnya.
IV. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya wali dalam pernikahan merupakan satu bagian yang tak mungkin untuk dipisahkan. Sedangkan perbedaan pendapat mengenai Wali dalam Nikah adalah hal yang wajar, karena dalam agama islam perbedaan pendapat adalah suatu rahmat. Yang paling penting adalah kita tidak boleh menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat kita.
V. Referensi
Al-qur’anul Karim.
HR. Ibnu Hibban. http://nizarbahalwan.blogspot.com/2009/11/kedudukan-wali-dalam-perkawinan.html Imam Nawawi Al-Majmu’ sarh Al-Muhaddzab (Beirut Dar al-Fikr th. 1425 H/ 2005) Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidiqiey, Hukum-Hukum Fiqih Islam. Imam Nawawi Al-Majmu’ Sarh al-Muhaddzab juz 17
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushaini Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtisar (Damaskus, Dar al-Khair th. 1994 M). Maktabah Syamilah. Abdullah bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Kafi fi Fiqhi Ibnu Hanbal . Maktabah Syamilah

Mengapa Islam berbeda Pendapat

I. Pendahuluan
Sungguh sedih melihat umat islam terpecah menjadi sekian golongan, tak jarang pertikaian menjadi awal permusuhan, terputuslah tali silaturrahim. Menyebarlah perasangka buruk, dusta, bahkan fitnah yang sangat keji. Fanatisme golongan menjadi dalil segala keyakinan. Merebahlah kecenderungan untuk menganggap pendapat sendiri yang paling benar dan menafikan pendapat yang lain.
Inilah wajah umat sekian abad sepeninggal Rasulullah SAW: terkotak-kotak dalam bingkai kelompok yang sangat sempit, mereka melupakan misi kenabian. Sejak awal lelaki Agung Al-mustofa di angkat menjadi utusan, berkali-kali beliau menegaskan:“Sesungguhnya Aku di utus menyempurnakan Akhlaq yang mulia“.
Misi Nabi SAW adalah menegakkan akhlaq yang mulia. Tetapi justru karena perbedaan pendapat - yang umumnya berasal dari tata cara Syari’at ( fiqih) – umat sepeninggal Nabi SAW tercerai berai. Karena alasan fiqih, tak jarang fiqih di tinggalkan, karena perbedaan ibadah, betapa sering terjadi perselisihan.
Dalam makalah ini, saya akan sedikit membahas tentang penyesuaian dan pembinaan pendapat yang berbeda, serta sebab-sebab mengapa bisa terjadi ikhtilaf di antara para imam atau para Mujtahid pada jaman dahulu. Apabila dalam pembahsan saya terdapat kesalahan, baik dalam segi penulisan atau keterangan, saya mohon dengan sangat, kepada pembaca sekalian mamu berkenan memberikan masukan atau kritik dan saran yang mendukung, guna menjadi perbaikan dalam pembuatan makalah yang akan datang. Semoga bermanfaat.
II. Rumusan Masalah
1. Sebab – sebab terjadinya ikhtilaf.
2. Penyesuaian dan pembinaan pendapat yang berbeda.
III. Pembahasan
1. Sebab – sebab terjadinya ikhtilaf.
Ucapan-ucapan Rasulullah Saw, biasa terdiri dari dua jenis, yang satu khusus yang lainya umum. Kadang-kadang seorang lelaki mendengar beliau, tetapi ia tak tahu apa yang di maksud Allah yang maha suci denganya, atau yang di makasud Nabi dengan itu. Secara isi si pendengar membawanya dan menghafalnya tanpa mengetahui makna dan maksud yang sesungguhnya atau apa sebabnya.
Kalangan sahabat Rasulullah Saw tidak terbiasa mengajukan pertanyaan atau menanyakan maknanya kepada beliau, sebenarnya mereka selalu menginginkan seorang badui atau orang asing datang dan menanyakan kepada beliau supaya mereka pun dapat mendengarkan. Bila mana suatu hal semacam itu terjadi padaku aku bertanya kepada beliau tentang artinya dan memeliharanya. Itulah sebab dan dasar perbedaan di kalangan orang tentang hadist-hadist mereka.
Adapun orang yang meriwayatkan hadist itu terbagi menjadi 4. Yaitu :
a. Kaum Munafiq Pendusta, yaitu orang yang memamerkan keimanan dan mengambil wajah seorang muslim. Ia tidak ragu-ragu berbuat dosa dan tidak menjauh dari kemungkaran. Mereka katakan bahwa ia sahabat Nabi, telah bertemu dengan beliau, mendengar kata-kata beliau dan mendapatkan pengetahuan dari beliau. Tapi semua itu dusta atau bohong.
b. Orang yang keliru, yaitu orang yang mendengar suatu ucapan dari Rasulullah, tetapi tidak menghafalkan sebagaimana adanya, melainkan menyimpulkan, ia tidak sengaja berdusta. Lalu ia membawa ucapan itu dan meriwayatkannya, mengamalkanya dan mengaku behwa : “ saya mendengarnya dari Rasulullah Saw”. Padahal yang ia bawa itu keliru.
c. Orang yang tidak tahu, yaitu orang yang mendengar Rasulullah Saw memerintahkan untuk melakukan sesuatu dan kemudian Nabi Saw melarang orang melakukannya tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya.
d. Orang yang menghafal denga benar, yaitu orang yang tidak berbicar dusta, ia benci akan kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasulullah, serta tidak membuat kekeliruan tetapi merekam (di pikiranya) tepat apa yang di dengarnya, tanpa menambah sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Ia mendengar hadist yang menaskh, ia merekam dan mengamalkannya, ia juga mengerti (tentang hal-hal)yang khusus dan yang umum.
Sedangkan Sebab-sebab ikhtilaf di antaranya adalah sebagai berikut :
a) Al-masa’il Al-lafdhiyyah,
Yakni perbedaan pemaknaan pada kata-kata (Al-masa’il Al-lafdhiyyah) terjadi tidak hanya pada Al-qur’an, tetapi lebih-lebih pada hadist. Sudah di sepakati bahwa Al-qur’an di sampaikan kepada kita dalam bentuk kata, sedangkan hadist umunya di sampaikan dalam makna. Dengan perkataan lain, Al-qur’an yang di baca Rasulullah dan para sahabatnya sama dengan Al-qur’an yang kit abaca dari segi kata-katanya. Sedangkan hadist yang kita baca belum tentu sama yang di sampaikan Rasulullah Saw, dalam hal Kata-katanya, di dalam hadist sering kita temukan redaksi yang bermacam-macam untuk makna yang sama, begitu juga sebaliknya.
Karena tidak ada perbedaan dalam penerimaan Al-qur’an, para ‘Ulama’ menyebutkan dalil – dalil al-qur’an itu sampai kepada kita secara qath’I atau pasti. Tidak ada madzhab yang punya Al-qur’an yang berbeda dengan mazhab-mazhab lainya. Sebagian besar hadist di sampaikan kepada kita secara tidak pasti. Ada perbedaan di antara para ‘Ulama’ dalam menerima dan menolak hadist, dengan menggunakan kriteria ilmu hadist. Semua ayat Al-qur’an shahih, tetapi tidak semua hadist sahih. Dan dari sinilah perbedaan ‘Ulama’ di mulai.
b) Perbedaan penerimaan hadist.
Hadist artinya berita yang di nisbatkan kepada Rasulullah Saw, baik tentang ucapan, perbuatan maupun ketentuanya. Para peneliti komunikasi dengan eksperimen sederhana, dapat membuktikan bagaimana informasi mengalami perubahan ketika di edarkan pada beberapa orang yang berkumpul pada satu tempat dan satu waktu, hadist beredar dari mulut ke mulut selama hampir 200 tahun di antara perawi hadist yang bertebaran di seluruh penjuru dunia.
Untuk mengatasi pemalsuan hadist telah di kembangkan ‘Ulum Al-hadist. Walaupun begitu ‘Ulum Al-hadist tidak dapat menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan ulama’ hadist dalam banyak hal. Pada tingkat sahabat sja terjadi perselisihan tentang mana sahabat yang dapat di percaya dan mana yang bukan. Orang-orang Syi’ah sangat meragukan hadist-hadist yang di riwayatkan Abu bakar, Umar, A’isah, Amr bin Ash. Dan lain lain. Ahlu sunah tidak mau meriwayatkan hadist melalui para imam ahlu bait. Walaupun mereka mempercayai Ali R.A. pada zaman sahabat saja sudah terjadi perselisihan, apalagi jaman sekarang yang notabennya sangat jauh dari zaman Nabi Saw.
2. Penyesuaian dan pembinaan pendapat yang berbeda.
Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalah-kan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah Ibadah. Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan pendapat dalam Ibadah ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.
Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan di antara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa. Imam Malik pernah berkata :
“Saya ini tidak lain, melainkan manusia biasa. Saya boleh jadi salah dan boleh jadi benar. Maka oleh sebab itu, lihatlah dan pikirlah baik-baik pendapat saya. Apabila sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) dan Sunnah, maka ambillah ia dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah ia.” Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ar-Rabi’:
“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w. padahal bersalahan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena sunnah itulah mazhab yang sebenarnya.”
Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan, apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami Hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:
اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah suatu rahmat.”
Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapat itu pasti terjadi di antara sesama umat Islam. Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Di sini tampak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justru mempersatukan umat, bukan masalah memecah-belah mereka. Carilah hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu.
Dan yang paling penting adalah “dahulukan Ahlak, di atas Fikih”
IV. Kesimpulan
Perbedaan merupakan hal yang wajar dalam kaca mata islam, karena perbedaan pendapat itu adalah suatu rahmat, akan tetapi rahmat itu akan hilang ketika perbedaan itu menjadikan dinding penghalang bagi para muslimin dengan muslim yang lain. Oleh karena itu, janganlah di buat sepaneng perbedaan itu, dan jangan terlalu fanatic banget. Karena hidup Cuma sekali. Mengapa harus di bikin pusing, yang penting Happy.. Sik Asik …
V. Referensi
Jalaludin Rakhmat, Dahulukan Ahlaq di atas Fiqh, Mizan Media Utama. 2007.
Nurul Aya Sofia. Tugas Makalah “Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Dalam Menentukan Pendapat”, 2012.